Jakarta, CNN Indonesia —
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyampaikan bahwa selama kepemimpinannya ia selalu menitikberatkan penanganan perkara-perkara tindak pidana korupsi dengan kerugian besar dan pelakunya adalah orang-orang berpengaruh,
Berdasarkan keterangan Kejaksaan Agung, beberapa perkara mega-korupsi yang berhasil ditangani adalah Jiwasraya, ASABRI, PT Garuda Indonesia, impor tekstil, impor garam, impor besi, PT Duta Palma, minyak goreng, impor gula, hingga terbaru adalah PT Timah.
Status perkara-perkara tersebut diantaranya telah berkekuatan hukum tetap dan masih dalam proses penyidikan.
“Korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan strategi dalam mengungkap kejahatannya dan menggunakan pasal untuk menjerat pelakunya,” ujar Burhanuddin, seperti dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (9/4).
Atas dasar hal tersebut, menurut Burhanuddin, Kejaksaan menerapkan pasal tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana kumulatif, penerapan unsur perekonomian negara dalam menghitung hukuman pelaku, serta menjerat korporasi menjadi pelaku tindak pidana sebagai upaya untuk mengakumulasikan pengembalian kerugian negara.
Polemik kerugian negara vs perekonomian negara
Sejak dikeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 25/PUU-XIV/2016, yang putusannya menghilangkan frase “dapat” pada Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, dan menjadikan kualifikasi delik korupsi dimaknai sebagai delik materiil, maka kerugian Negara harus benar terjadi atau nyata (actual loss).
Burhanuddin berpendapat bahwa perhitungan kerugian negara dengan perekonomian negara adalah dua hal yang berbeda.
“Perhitungan kerugian dalam tindak pidana korupsi tidak bisa hanya dilihat dari pembukuan atau perhitungan secara akuntansi, tetapi harus mempertimbangkan segala aspek dampak yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut,” katanya.
“Di antara lain memperhitungkan pengurangan dan penghilangan pendapatan Negara, penurunan nilai investasi, kerusakan infrastruktur, gangguan stabilitas ekonomi, dan lainnya.
Di sisi lain, menurutnya, dalam korupsi di sektor sumber daya alam seperti batubara, nikel, emas, timah termasuk galian C, harus juga memperhitungkan kerugian perekonomian dalam perspektif kerusakan lingkungan, serta memperhitungkan manfaat yang hilang akibat lingkungan rusak, termasuk kerugian ekologi karena telah mengakibatkan kematian bagi makhluk hidup akibat limbah beracun, dan aspek sosial budaya seperti konflik sosial atau hilangnya pendapatan masyarakat.
“Itu semua tidak mudah untuk dikembalikan seperti sedia kala,” kata Burhanuddin.
Ia juga menegaskan bahwa korupsi tidak hanya dalam konteks pengadaan barang dan jasa atau suap menyuap, tetapi titik beratnya adalah kerugian negara dan perekonomian negara seperti proyek-proyek strategis nasional
Lebih lanjut, Burhanuddin menekankan bahwa kejahatan korupsi melemahkan posisi tawar negara dalam pergaulan internasional, sehingga mengakibatkan ketidakstabilan negara secara masif.
“Sudah banyak Negara yang runtuh akibat terjadinya tindak pidana korupsi yang terjadi secara masif, sistematis dan terorganisir bahkan sudah lintas negara,” katanya.
(vws)