Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak seluruh permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 yang diajukan paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, Senin (22/4).
MK menyatakan dalil-dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum dalam sidang pembacaan putusan yang digelar sejak Senin pukul 09.00 WIB hingga sekitar pukul 15.10 WIB itu.
Dengan putusan itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menetapkan paslon nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai pemenang Pilpres 2024. Penetapan dilakukan di Jakarta pada Rabu (24/4).
Meski begitu, suara penolakan mahkamah tak bulat. Dari delapan hakim MK yang menyidangkan dan memutuskan perkara tersebut, terdapat tiga hakim yang memiliki pendapat berbeda alias dissenting opinion. Tiga yang menyatakan dissenting opinion atas putusan mahkamah itu adalah Wakil Ketua MK Saldi Isra, hakim konstitusi Arief Hidayat, dan hakim konstitusi Enny Nurbaningsih.
Dalam pernyataan dissenting opinion-nya yang dibacakan dalam sidang, Arief menilai Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah melakukan kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Dia juga berpendapat seharusnya pemungutan suara ulang (PSU) pilpres diulang di sejumlah provinsi.
“Semua dalil-dalil dianggap terbukti berlawanan dengan hukum, seharusnya dikabulkan. Mengabulkan permohonan untuk sebagian, memerintahkan revote di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara,” ujar Arief dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta.
Senada, Saldi pun menilai dalil-dalil pemohon terbukti secara hukum, dan seharusnya mahkamah memerintahkan pelaksanaan PSU di sejumlah daerah.
Saldi juga menyoroti asas jujur dan adil dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Menurutnya, Pilpres 2024 bisa saja sudah sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada. Namun, belum tentu menjamin Pilpres berjalan secara jujur. Dia pun menyinggung preseden pada era orde baru.
“Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu. Namun, secara empirik, Pemilu Orba tetap dinilai curang,” kata Saldi dalam dissenting opinion-nya.
Kemudian Enny menilai telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang sebagiannya berkelindan dengan pemberian bansos yang terjadi di beberapa daerah.
“Maka untuk menjamin terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, seharusnya Mahkamah memerintahkan untuk dilakukan pemungutan suara ulang untuk beberapa daerah,” ujar satu-satunya hakim perempuan di antara sembilan hakim konstitusi tersebut.
Jangan hanya tarung alat bukti
Pakar hukum tata negara dari UIN Malang, Wiwik Budi Wasita mengatakan putusan sengketa Pilpres 2024 mestinya menjadi momentum MK dalam memperbaiki citra mereka.
Upaya mengembalikan muruah itu terkait dengan polemik perubahan syarat usia minimal capres-cawapres yang diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 oleh MK.
Putusan tersebut menuai kontroversi lantaran dianggap sebagai ‘karpet merah’ yang dibentangkan untuk memuluskan jalan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga anak Jokowi sekaligus keponakan Hakim Konstitusi Anwar Usman (saat itu menjabat sebagai Ketua MK) untuk ikut serta di Pilpres 2024, meski usianya belum 40 tahun.
Wiwik berharap ke depan MK melakukan pembaharuan terkait teknis pemeriksaan perkara sengketa pemilu, khususnya pilpres.
Sebab, preseden sejak sengketa Pilpres 2004 hingga saat ini memiliki pola yang sama yakni pemohon mendalilkan tentang adanya intervensi kekuasaan dalam kontestasi nasional.
Menurutnya, MK perlu lebih dalam menelisik dan menyelidiki terkait pelanggaran-pelanggaran yang menjadi dalil dari para pemohon.
“Pendekatan itu harusnya agak diubah, sehingga bukan hanya sekadar tarung alat bukti antara para pihak khususnya dari pemohon untuk membuktikan dalil-dalilnya. Tapi di sini ada peran inisiatif dari MK sebagai judicial activism,” kata Wiwik.
Hakim-hakim MK, kata dia, harusnya membuktikan dugaan motif kejahatan yang dilakukan dalam pilpres seperti proses peradilan dalam perkara pidana.
“Jangan hanya sekadar bersandar pada alat bukti yang ada, tinggal dibanding-bandingkan, tinggal disanding-sandingkan, kayak gitu saja. Kemudian dari situ langsung ambil kesimpulan,” ujarnya.
Selain itu, Wiwik juga menyoroti sempitnya waktu karena para pemohon dan hakim berkejaran dengan waktu sidang sengketa pilpresyang harus diselesaikan paling lama 14 hari.
Wiwik mengatakan durasi yang cukup singkat itu membuat para pemohon menghadirkan saksi dan ahli yang tidak benar-benar berkualitas. Apalagi jika alat bukti yang diajukan tak mumpuni,akan sangat lemah di mata MK.
“Tapi itu lagi-lagi dalam perspektif, tarung alat bukti doang, sementara balik lagi bagaimana cara memeriksa, harusnya ada pembaruan lah, dari MK khususnya,” kata Wiwik.
“Karena persoalan ini lebih banyak kepada, kalau bahasa saya kita itu lebih dekat kepada realitas politik, yang itu kemudian harus ada satu rambu-rambu yang tegas, yang itu bisa sebenarnya dihasilkan dari putusan-putusan mahkamah,” imbuhnya.
Upaya perbaikan citra MK
Menurut Wiwik, putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan Anwar Usman terbukti melanggar kode etik perilaku hakim dan dicopot dari jabatan Ketua MK tak cukup untuk memperbaiki citra MK. Apalagi, sambungnya, ditambah dengan putusan sengketa Pilpres 2024 yang menolak permohonan Anies-Imin dan Ganjar-Mahfud untuk seluruhnya tersebut.
“Sudah kadung terjadi, sehingga kemudian mau tidak mau publik pun harus bisa menerima bahwa Pilpres 2024 ini terasa spesial–dalam tanda kutip–pernah ada kandidat yang maju dengan berdasarkan pada satu putusan yang itu cacat secara etika,” kata Wiwik kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/4).
Ia mengatakan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi putusan monumental yang melahirkan stigma MK sebagai Mahkamah Keluarga. Menurutnya, stigma itu akan tetap melekat pada diri MK.
“Stigma Mahkamah Keluarga tidak akan bisa dilepaskan. Terlebih dengan putusan yang seperti sekarang (sengketa pilpres) menolak. Jadi pro-kontranya pasti akan terus ada,” kata Wiwik.
Selain Mahkamah Keluarga, dia menyinggung ada progres dari MK yang semula dipersepsikan sebagai Mahkamah Kalkulator yang hanya mengadili hasil penghitungan suara dalam pemilu.
Wiwik berpendapat sejak sengketa Pilpres 2004 hingga saat ini, MK justru terlihat telah mempertimbangkan putusannya baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Hal itu dibuktikan dengan puluhan halaman pertimbangan yang dibacakan dalam persidangan dan penilaian MK terhadap satu per satu dalil pemohon.
“Dari dulu sebenarnya juga tidak Mahkamah Kalkulator murni. MK tetap menimbang persoalan-persoalan kualitatif. Kalau kita baca putusan di 2004 sampai sekarang semua ada pertimbangan-pertimbangan terhadap dalil-dalil yang sifatnya kualitatif. Itu juga ditimbang oleh Mahkamah,” ujarnya.
Wiwik mengatakan tidak adanya pengaduan pelanggaran etik perilaku hakim terkait putusan sengketa Pilpres 2024 dapat dijadikan sebagai momentum MK untuk memulihkan citra.
Baca halaman selanjutnya